Zurich, Swiss 1996

Kamis, 11 April 2013

Bendera Aceh Merdeka


Pada suatu senja, di tahun 1908. Di taman atap sebuah rumah pemukiman di Manhattan, Amerika Serikat, David Quixiano, komponis Rusia Yahudi muda usia itu berdiri sembari menggamit mesra lengan Vera, kekasihnya, gadis Kristen yang jelita. Di kejauhan, patung Liberty mengemilau jingga berlumur cahaya senja. David menuding kea rah kota Manhattan sambil berkata kepada Vera, “Di sanalah ia terletak, Panci Peleburan yang mahabesar itu. Dapatkah engkau mendengar ia menderu dan bergelora? Wahai dengarlah orang Celt dan Latin, orang Slay dan Teuton, orang Yunani dan Syria, hitam dan kuning…”
      “Orang Yahudi dan bukan Yahudi,” bisik Vera sembari bergelayut manja.
      “Ya! Amerika adalah sebuah Panci Peleburan yang mahabesar di mana semua ras sedang melebur dan terbentuk kembali! Seluruh permusuhan dan dendam kalian hanya senilai satu buah ara. Masuklah kalian semua ke dalam Panci Peleburan, di sini mereka semua akan bersatu guna membangun Republik Manusia dan Kerajaan Allah. Ah, Vera kekasihku…, apalah artinya kemuliaan Roma dan Yerusalem di mana semua ras dan bangsa gemar memandang ke belakang, dibanding dengan kemuliaan Amerika di mana semua ras dan bangsa datang untuk bekerja dan memandang ke depan!”
      Berbarengan dengan David dan Vera yang berpelukan seakan-akan sedang mendekap masa depan, matahari pun terbenam. Laut menjadi hamparan kegelapan sehingga nyala obor patung Liberty laksana bintang penunjuk jalan. Gemuruh angin mengejar ombak, menampias karang, berlarian di pasir pantai, mengusap reranting bakau, kemudian bergabung dalam harmoni senandung David dan Vera yang menyanyikan syair, “Negaraku juga negerimu. Oo tanah indah kemerdekaan, untukmu aku bernyanyi. Nyanyian tentang kebebasan yang manis, dan menghidupkan lidah-lidah yang mati….”
      Dan perlahan layar turun. Lampu-lampu dinyalakan. Dan sandiwara berjudul Melting Pot (Panci Peleburan) karya Israel Zangwill, penulis Inggris asal Rusia Yahudi itu berakhir, disambut gemuruh standing applaus warga Washington yang menonton. Bahkan sebelum layar kembali terangkat naik sepenuhnya, Presiden AS Theodore Roosevelt berseru seraya mendekati panggung, “Itu sandiwara yang hebat, Tuan Zangwill. Sungguh sandiwara yang hebat!”
Bendera Penolak Jawanisasi
Tentu hal mustahil jika sandiwara karya Israel Zangwill tidak terdapat dalam literatur kepustakaan Bung Karno, Bung Hatta dan para pahlawan kemerdekaan Indonesia. Bahkan bukan tidak mungkin sandiwara Melting Pot menginspirasi para founding father Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ketika menggali khasanah sastra Jawa Kuna semasa kerajaan Majapahit, dan menemukan makna Bhineka Tunggal Ika dalam kakawin Sutasoma karya Empu Tantular pada abad 14.
      Ketika berpidato di Surabaya, 24 September 1955, misalnya, Bung Karno berkata, “Sebelum kita memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, aku ingin bersama-sama dengan pejuang lain membentuk satu wadah. Wadah yang bernama Negara. Wadah untuk masyarakat, bagi masyarakat yang beraneka agama, beraneka suku, beraneka adat-istiadat! Aku ingin membentuk satu wadah yang tidak retak, yang utuh, yang mau menerima semua masyarakat Indonesia yang beraneka itu dan yang masyarakat Indonesia mau duduk pula di dalamnya.”
      Gubernur Aceh Abdullah Zaini dan mantan petinggi GAM yang pernah lama bermukim di Swedia, barangtentu pernah membaca atau sedikitnya mendengar tentang sandiwara Melting Pot yang sangat terkenal itu. Kalaupun menampik sandiwara Melting Pot yang kebetulan karya orang Yahudi, paling tidak Abdullah Zaini dan mantan petinggi maupun para kombatan GAM tentu mengetahui konsep Bhineka Tunggal Ika yang  menjadi semboyan bangsa Indonesia.
      Tapi, bagi mereka yang sejak lama berjuang dan bercita-cita  memproklamirkan Aceh Merdeka, semboyan Bhineka Tunggal Ika yang bersumber dari khasanah Jawa Kuna itu tampaknya lebih mudah disalahpahami sebagai alat untuk memaksakan nilai-nilai “Jawanisasi”. Oleh karena itu, kengototan menjadikan bendera GAM sebagai bendera daerah Aceh, kiranya bisa dimengerti. Bukanlkah selembar bendera sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan eksistensi sebuah Negara, sebuah bangsa, sebuah kedaulatan?
Jawafobia Warisan Leluhur
Tahun 1908, ketika Zangwill mementaskan lakon Melting Pot di Washington,Amerika sedang kebanjiran imigran dari penjuru dunia. Mereka datang bukan hanya berbekal harapan, melainkan juga membawa prasangka yang membengkak jadi kebencian dan memicu kerusuhan antar etnis.  Dan setengah abad sebelum Zangwill menulis Melting Pot, tahun 1856, Abraham Lincoln dengan geram berkata, “Kemajuan kita dalam berkelakuan jelek berjalan cukup cepat. Sebagai suatu bangsa kita mulai dengan maklumat bahwa semua orang diciptakan sama. Tapi, pada kenyataannya maklumat itu kita baca sebagai: semua orang diciptakan sama kecuali orang Negro, dan orang-orang asing, dan orang-orang Katholik.”
      Lakon Panci Peleburan yang dipentaskan keliling di seluruh Negara bagian Amerika, pada akhirnya menjadi alat propaganda agar kaum imigran rela meninggalkan masa silam dan asal usul mereka, supaya siapa saja menanggalkan prasangka dan dendam kesumat dari jiwanya, untuk melebur menjadi “orang Amerika”. Tapi, bersamaan dengan pujian dan standing applaus yang diberikan di setiap pementasan Panci Peleburan, ditempat lain bermunculan pula penolakan terhadap apa yang mereka sebut “program Amerikanisasi”, memaksakan konsepAnglo-sentris pada imigran non-Anglo.
Penolakan tersebut sampai sekarang masih terus berlangsung, dalam beberapa kasus bahkan ekstrem dan brutal.  Pada 16 April 2007, misalnya, mahasiswa senior Virginia Tech etnis Korea bernama Cho Seung-hui, 23 tahun, menembak mati 32 orang di asrama dan kampusnya.
      “Apakah Anda tahu rasanya dibakar hidup-hidup? Apa Anda tahu rasanya selalu dipermalukan?” kata Cho sebelum melakukan pembantaian. Ucapannya itu mungkin mencerminkan kondisi kejiwaan Cho yang mengalami depresi berat. Apakah brutalitas Cho juga bersebab dari residu kebencian yang berbiak Anglofobia warisan imigran leluhurnya? 
      Sayang, jawabannya dibawa Cho ke liang kubur. Ia bunuh diri sesaat setelah membantai 32 orang.
      Sang Saka Merah Putih, Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila, yang secara gemilang “dipentaskan” keliling Nusantara oleh Bung Karno, Bung Hatta dan para pahlawan pendiri republik ini, juga disambut pengharapan dan diterima sebagai bendera, asas dan semboyan NKRI. Entah kebetulan atau karena sebab lain, bendera, asas dan semboyan tersebut semuanya digali dari khasanah budaya Jawa Kuna–khususnya  Majapahit. Sang Saka Merah Putih mengacu pada Panji Gula Kelapa kerajaan Majapahit, Bhineka Tunggal Ika dari kakawin Sutasoma, demikian pula “judul” Pacasila yang  memakai frasa Jawa Kuna.
      Bagi mereka yang mewarisi residu prasangka dan kebencian dari leluhurnya, realitas sejarah itu ibarat virus Jawafobia. Sedangkan mereka yang pada dasarnya bercita-cita punya Negara sendiri, ketiga hal tersebut menggenapi keyakinan tentang konsep Jawanisasi yang dipaksakan kepada etnis lain. Dan sejumlah ormas yang menampik asas tunggal, adalah bentuk penolakan terhadap kegemilangan karya founding father NKRI.
      Apapun, bendera Aceh Merdeka sudah berkibar. Mudah-mudahan kita tidak kaget kalau nanti berkibar pula bendera Papua Merdeka, Republik Maluku Selatan, Negara Islam Indonesia, dan siapa tahu bendera Soviet Madiun? Semoga kita juga tidak terkejut jika kelak hantu Cho gentayangan menembaki siapa saja, termasuk dirinya sendiri. Bukankah Cho sudah pernah muncul di Cebongan? ***

Rabu, 10 April 2013

Madiun dan Naluri Penguasa


Selasa, 25 Desember 2012, sekitar pukul 03.30 pagi, kereta api Bangunkarta yang saya tumpangi bersama istri dan si bungsu tiba di Madiun. Sejak “merantau” ke Jakarta (1975), setidaknya setahun dua kali saya “wajib” mudik ke kampung halaman. Mudik Idul Fitri untuk sungkem orang tua, dan berziarah setelah mereka wafat. Lalu mudik Natal untuk mengunjungi kakak saya yang Protestan dan adik bungsu saya yang Katholik.
     Selain Idul Fitri dan Natal, yang membuat saya selalu ingin mudik ke Madiun sesungguhnya adalah bisa bertemu dan bernostalgia dengan kawan-kawan lama, bisa menemukan kembali segala sesuatu yang remeh-temeh tapi mampu menyimpan kenangan puluhan tahun silam, dan tentu saja bisa memanjakan lidah dengan bermacam menu kuliner khas Madiun.
Serba Biru
Setelah “urusan keluarga” selesai, esoknya saya berkeliling Madiun naik sepeda onta, melaju santai di Jalan Kapuas, melintasi watertoren (menara air raksasa) peninggalan zaman Belanda,  terus ke utara melewati Proliman menuju Alun-Alun, berhenti sejenak di depan Masjid Agung, melaju lagi ke Jalan Semeru, belok kanan Jalan Pahlawan, melewati Rumah Dinas Walikota, sampai di perempatan Tugu belok kiri dan ngaso di depan Pasar Besar.
     Setidaknya sudah sepertiga kota Madiun saya jelajahi. Tapi, saya merasa tidak berada di kampung halaman yang akrab dan penuh kenangan, tapi seperti tersesat di sebuah tempat yang asing dan terkepung warna biru. Marka jalan dan batas trotoar yang di kota lain lazimnya hitam putih, di sini biru putih. Tiang lampu jalan, pagar, termasuk listplank Rumah Dinas Walikota juga biru. Pintu gerbang, dinding dan kubah Masjid Agung berikut sekeliling Alun-Alun serta bangunan Pasar Besar pun biru. Bahkan menara air yang tingginya lebih dari 50 meter, yang sejak saya kecil—konon malah sejak zaman Belanda—warnanya selalu hijau gelap keabu-abuan itu kok ya dicat biru. 
     Ketika saya melanjutkan perjalanan dan mampir ke dalam stadion, seluruh bangku penonton ternyata juga berwarna biru.
     Warna biru, kata tukang parkir yang menemani saya ngaso, mulai menyebar di penjuru Madiun setelah Walikota Madiun yang diusung Golkar memenangi Pilkada 2008 dan kemudian terpilih jadi Ketua DPC Partai Demokrat Madiun.
Prasasti Perguruan Silat
Sepanjang perjalanan berkeliling Madiun, bahkan sampai pelosok desa yang berhampiran dengan Ngawi, Magetan dan Ponorogo, saya juga sering “berjumpa” dengan “prasasti” perguruan silat Setia Hati (SH) Winongo dan SH Terate. “Prasasti” dari semen ukuran 1 X 1,5 meter berwarna dasar hitam itu tampak mencolok lantaran berada di tikungan dan tempat-tempat strategis. Jarak “prasasti” SH Terate dengan “prasasti” SH Winongo terkadang hanya terpaut 100 meter.
     SH Winongo dan SH Terate sesungguhnya bersumber dari mahaguru yang  sama, kemudian berkembang menjadi dua perguruan silat yang mempunyai puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu pesilat dan pendekar. Maklum, kedua perguruan silat tersebut juga memiliki cabang di penjuru Nusantara.
     Semasa kecil, tahun 1960-an, saya bertetangga dengan Ibu Ambar, ibunda Mas Imam, mahaguru SH Terate. Hampir setiap hari saya main di kediaman Eyang Ambar, di paviliun barat pendapa Kabupaten Madiun. Saya sering diajak Mas Gembong dan terutama sangat dekat dengan Mas Gegot, adik bungsu Mas Imam yang meninggal sepulang mancing di sendang Sumbermoro, Jiwan.
     Saya yang waktu itu masih SD sering nonton puluhan anak muda yang setiap malam latihan silat di halaman paviliun. Selesai latihan silat, dilanjutkan meditasi. Setiap malam 1 Suro, beberapa pesilat diwisuda jadi pendekar. Calon pendekar yang akan diwisuda wajib membawa ayam jago, selembar kain kafan dan sejumlah uang logam. 
     Almarhum Mas Parno, kakak ipar yang terbilang pendekar SH Terate angkatan pertama, mengatakan bahwa ayam jago yang dipotong itu secara simbolis menyatakan bahwa pendekar silat itu bukanlah jagoan. Sedangkan kain kafan dan uang logam kelak akan ditabur bersama beras kuning ketika ajal datang. Meditasi, ritual 1 Sura, ayam jago, kain kafan dan uang logam sebagai bekal hidup dan mati, merupakan “olah batin” yang harus dipahami dan dihayati melebihi kemampuan “olah fisik” seorang pendekar.
     SH Winongo dan SH Terate adalah “produk budaya” khas Madiun yang layak dibanggakan dan pantas menjadi kebanggaan masyarakat Madiun. Sebagai “produk budaya”, kelahiran dan kehadiran kedua perguruan silat terbesar di Indonesia tersebut mestinya dikodratkan untuk saling melengkapi, saling bersinergi. Sayangnya, yang terjadi justru saling memusuhi, bahkan saling meniadakan. 
     Alhasil, setiap tahun menjelang ritual 1 Sura, warga Madiun niscaya dicekam teror tawuran yang melibatkan ribuan pesilat SH Winongo dan SH Terate. Bahkan tanpa sebab yang jelas, para pesilat kedua perguruan tersebut seringkali terlibat bentrok yang melibatkan puluhan anak muda.
     Ketika kemampuan “olah fisik” melampaui pemahaman dan penghayatan “olah batin”, tampaknya seorang pendekar pada akhirnya hanyalah sekadar jagoan berkelahi secara keroyokan belaka.
Naluri Penguasa
Selama tiga hari bertemu dengan kawan-kawan lama, ternyata saya tidak bisa bernostalgia. Maklum, sebagian besar masyarakat Madiun, termasuk kawan-kawan lama saya, lebih suka membicarakan Pilkada Kota Madiun yang rencananya akan digelar pada 29 Agustus 2013 mendatang. 
     Obrolan di warung-warung kopi tak lagi dimeriahkan kenangan romantik masa silam, tapi tentang isyu politik, tentang sejumlah nama calon walikota dan semacamnya.
     Lewat tengah malam saya mengayuh sepeda, meninggalkan warung kopi dan kawan-kawan lama yang masih asyik bicara politik. Dalam perjalanan pulang, saya terpaksa melewati rentetan warna biru dan sejumlah prasasti—yang  tentunya dimaksudkan untuk menandai wilayah kekuasaan.
     Menandai wilayah kekuasaan, barangkali memang sudah menjadi naluri penguasa. Seperti halnya singa dan harimau menandai wilayah kekuasaannya dengan mencakari batang pohon. Seperti halnya anjing dan kucing juga merasa perlu menandai wilayah kekuasaannya dengan (maaf) siraman urine di tiang listrik atau di pojok pagar. ***

Surat Ibu 1979-1982

Surat Ibu 1979-1982

Surat-surat itu
ditulis almarhumah Ibu
lebih dari tiga puluh tahun yang lalu.
Kertasnya mulai merapuh
 tintanya sebagian terkelupas luruh
dan kalimatnya telah menjelma menjadi suluh.
Dan setiap kali membaca ulang surat-surat itu
selalu saja ada surat yang seakan-akan baru ditulis Ibu
kemarin atau setidaknya minggu lalu
lantas dikirim via pos kilat supaya lekas melintas rindu.


Membaca surat-surat itu
aku pun terkenang pangkuan Ibu
tempat di mana dahulu
aku bisa menangis tersedu
 tanpa rasa malu,
dan bukankah hanya pangkuan Ibu
tempat di mana dahulu
aku bisa merasa aman
 bersembunyi dari Tuhan?
Dan seperti masa kanak yang semakin menjauh
surat-surat itu akan semakin merapuh
tapi cintaku pada Ibu tetap utuh
tetap teguh
takkan pernah runtuh.

Jakarta, 10 April 2013