tag:blogger.com,1999:blog-42487510827550884862024-03-19T04:02:43.014-07:00Bangga MadiunMadioen tempo doeloe, Madiun kemarin, Madiun hari ini, Madiun di masa depan, Madiun kota kelahiran, Madiun kampung halaman, Madiun rumah hari tua, Madiun beranda kenangan, adalah Madiun yang pantas dibanggakan.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13989728439554797210noreply@blogger.comBlogger3125tag:blogger.com,1999:blog-4248751082755088486.post-15153455063949062642013-04-11T22:54:00.000-07:002013-04-11T22:54:23.963-07:00Bendera Aceh Merdeka<br />
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">
<strong><em>Pada suatu senja, di tahun 1908. </em></strong>Di taman atap sebuah rumah pemukiman di Manhattan, Amerika Serikat, David Quixiano, komponis Rusia Yahudi muda usia itu berdiri sembari menggamit mesra lengan Vera, kekasihnya, gadis Kristen yang jelita. Di kejauhan, patung Liberty mengemilau jingga berlumur cahaya senja. David menuding kea rah kota Manhattan sambil berkata kepada Vera, “Di sanalah ia terletak, <em>Panci Peleburan</em> yang mahabesar itu. Dapatkah engkau mendengar ia menderu dan bergelora? Wahai dengarlah orang Celt dan Latin, orang Slay dan Teuton, orang Yunani dan Syria, hitam dan kuning…”</div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">
“Orang Yahudi dan bukan Yahudi,” bisik Vera sembari bergelayut manja.</div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">
“Ya! Amerika adalah sebuah <em>Panci Peleburan</em> yang mahabesar di mana semua ras sedang melebur dan terbentuk kembali! Seluruh permusuhan dan dendam kalian hanya senilai satu buah ara. Masuklah kalian semua ke dalam Panci Peleburan, di sini mereka semua akan bersatu guna membangun Republik Manusia dan Kerajaan Allah. Ah, Vera kekasihku…, apalah artinya kemuliaan Roma dan Yerusalem di mana semua ras dan bangsa gemar memandang ke belakang, dibanding dengan kemuliaan Amerika di mana semua ras dan bangsa datang untuk bekerja dan memandang ke depan!”</div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">
Berbarengan dengan David dan Vera yang berpelukan seakan-akan sedang mendekap masa depan, matahari pun terbenam. Laut menjadi hamparan kegelapan sehingga nyala obor patung Liberty laksana bintang penunjuk jalan. Gemuruh angin mengejar ombak, menampias karang, berlarian di pasir pantai, mengusap reranting bakau, kemudian bergabung dalam harmoni senandung David dan Vera yang menyanyikan syair, “<em>Negaraku juga negerimu. Oo tanah indah kemerdekaan, untukmu aku bernyanyi. Nyanyian tentang kebebasan yang manis, dan menghidupkan lidah-lidah yang mati…</em>.”</div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">
Dan perlahan layar turun. Lampu-lampu dinyalakan. Dan sandiwara berjudul <em>Melting Pot (Panci Peleburan)</em> karya Israel Zangwill, penulis Inggris asal Rusia Yahudi itu berakhir, disambut gemuruh <em>standing applaus</em> warga Washington yang menonton. Bahkan sebelum layar kembali terangkat naik sepenuhnya, Presiden AS Theodore Roosevelt berseru seraya mendekati panggung, “Itu sandiwara yang hebat, Tuan Zangwill. Sungguh sandiwara yang hebat!”</div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">
<strong><em>Bendera Penolak Jawanisasi</em></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">
Tentu hal mustahil jika sandiwara karya Israel Zangwill tidak terdapat dalam literatur kepustakaan Bung Karno, Bung Hatta dan para pahlawan kemerdekaan Indonesia. Bahkan bukan tidak mungkin sandiwara <em>Melting Pot</em> menginspirasi para <em>founding father</em> Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ketika menggali khasanah sastra Jawa Kuna semasa kerajaan Majapahit, dan menemukan makna Bhineka Tunggal Ika dalam <em>kakawin Sutasoma</em> karya Empu Tantular pada abad 14.</div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">
Ketika berpidato di Surabaya, 24 September 1955, misalnya, Bung Karno berkata, “Sebelum kita memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, aku ingin bersama-sama dengan pejuang lain membentuk satu wadah. Wadah yang bernama Negara. Wadah untuk masyarakat, bagi masyarakat yang beraneka agama, beraneka suku, beraneka adat-istiadat! Aku ingin membentuk satu wadah yang tidak retak, yang utuh, yang mau menerima semua masyarakat Indonesia yang beraneka itu dan yang masyarakat Indonesia mau duduk pula di dalamnya.”</div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">
Gubernur Aceh Abdullah Zaini dan mantan petinggi GAM yang pernah lama bermukim di Swedia, barangtentu pernah membaca atau sedikitnya mendengar tentang sandiwara <em>Melting Pot</em> yang sangat terkenal itu. Kalaupun menampik sandiwara <em>Melting Pot</em> yang kebetulan karya orang Yahudi, paling tidak Abdullah Zaini dan mantan petinggi maupun para kombatan GAM tentu mengetahui konsep Bhineka Tunggal Ika yang menjadi semboyan bangsa Indonesia.</div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">
Tapi, bagi mereka yang sejak lama berjuang dan bercita-cita memproklamirkan Aceh Merdeka, semboyan Bhineka Tunggal Ika yang bersumber dari khasanah Jawa Kuna itu tampaknya lebih mudah disalahpahami sebagai alat untuk memaksakan nilai-nilai “Jawanisasi”. Oleh karena itu, kengototan menjadikan bendera GAM sebagai bendera daerah Aceh, kiranya bisa dimengerti. Bukanlkah selembar bendera sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan eksistensi sebuah Negara, sebuah bangsa, sebuah kedaulatan?</div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">
<strong><em>Jawafobia Warisan Leluhur</em></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">
Tahun 1908, ketika Zangwill mementaskan lakon <em>Melting Pot</em> di Washington,Amerika sedang kebanjiran imigran dari penjuru dunia. Mereka datang bukan hanya berbekal harapan, melainkan juga membawa prasangka yang membengkak jadi kebencian dan memicu kerusuhan antar etnis. Dan setengah abad sebelum Zangwill menulis <em>Melting Pot</em>, tahun 1856, Abraham Lincoln dengan geram berkata, “Kemajuan kita dalam berkelakuan jelek berjalan cukup cepat. Sebagai suatu bangsa kita mulai dengan maklumat bahwa semua orang diciptakan sama. Tapi, pada kenyataannya maklumat itu kita baca sebagai: <em>semua orang diciptakan sama kecuali orang Negro, dan orang-orang asing, dan orang-orang Katholik</em>.”</div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">
Lakon <em>Panci Peleburan</em> yang dipentaskan keliling di seluruh Negara bagian Amerika, pada akhirnya menjadi alat propaganda agar kaum imigran rela meninggalkan masa silam dan asal usul mereka, supaya siapa saja menanggalkan prasangka dan dendam kesumat dari jiwanya, untuk melebur menjadi “orang Amerika”. Tapi, bersamaan dengan pujian dan <em>standing applaus</em> yang diberikan di setiap pementasan <em>Panci Peleburan</em>, ditempat lain bermunculan pula penolakan terhadap apa yang mereka sebut “program Amerikanisasi”, memaksakan konsep<em>Anglo-sentris</em> pada imigran <em>non-Anglo</em>.</div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">
Penolakan tersebut sampai sekarang masih terus berlangsung, dalam beberapa kasus bahkan ekstrem dan brutal. Pada 16 April 2007, misalnya, mahasiswa senior Virginia Tech etnis Korea bernama Cho Seung-hui, 23 tahun, menembak mati 32 orang di asrama dan kampusnya.</div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">
“Apakah Anda tahu rasanya dibakar hidup-hidup? Apa Anda tahu rasanya selalu dipermalukan?” kata Cho sebelum melakukan pembantaian. Ucapannya itu mungkin mencerminkan kondisi kejiwaan Cho yang mengalami depresi berat. Apakah brutalitas Cho juga bersebab dari residu kebencian yang berbiak Anglofobia warisan imigran leluhurnya? </div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">
Sayang, jawabannya dibawa Cho ke liang kubur. Ia bunuh diri sesaat setelah membantai 32 orang.</div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">
Sang Saka Merah Putih, Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila, yang secara gemilang “dipentaskan” keliling Nusantara oleh Bung Karno, Bung Hatta dan para pahlawan pendiri republik ini, juga disambut pengharapan dan diterima sebagai bendera, asas dan semboyan NKRI. Entah kebetulan atau karena sebab lain, bendera, asas dan semboyan tersebut semuanya digali dari khasanah budaya Jawa Kuna–khususnya Majapahit. Sang Saka Merah Putih mengacu pada <em>Panji Gula Kelapa</em> kerajaan Majapahit, Bhineka Tunggal Ika dari <em>kakawin Sutasoma</em>, demikian pula “judul” Pacasila yang memakai frasa Jawa Kuna.</div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">
Bagi mereka yang mewarisi residu prasangka dan kebencian dari leluhurnya, realitas sejarah itu ibarat virus Jawafobia. Sedangkan mereka yang pada dasarnya bercita-cita punya Negara sendiri, ketiga hal tersebut menggenapi keyakinan tentang konsep Jawanisasi yang dipaksakan kepada etnis lain. Dan sejumlah ormas yang menampik asas tunggal, adalah bentuk penolakan terhadap kegemilangan karya <em>founding father</em> NKRI.</div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">
Apapun, bendera Aceh Merdeka sudah berkibar. Mudah-mudahan kita tidak kaget kalau nanti berkibar pula bendera Papua Merdeka, Republik Maluku Selatan, Negara Islam Indonesia, dan siapa tahu bendera Soviet Madiun? Semoga kita juga tidak terkejut jika kelak hantu Cho gentayangan menembaki siapa saja, termasuk dirinya sendiri. Bukankah Cho sudah pernah muncul di Cebongan? ***</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13989728439554797210noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4248751082755088486.post-58155419263892517382013-04-10T19:02:00.002-07:002013-04-10T19:02:50.974-07:00Madiun dan Naluri Penguasa
<!--[if gte mso 9]><xml>
<o:DocumentProperties>
<o:Template>Normal.dotm</o:Template>
<o:Revision>0</o:Revision>
<o:TotalTime>0</o:TotalTime>
<o:Pages>1</o:Pages>
<o:Words>867</o:Words>
<o:Characters>4946</o:Characters>
<o:Company>Harry Production</o:Company>
<o:Lines>41</o:Lines>
<o:Paragraphs>9</o:Paragraphs>
<o:CharactersWithSpaces>6074</o:CharactersWithSpaces>
<o:Version>12.0</o:Version>
</o:DocumentProperties>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves>false</w:TrackMoves>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:DrawingGridHorizontalSpacing>18 pt</w:DrawingGridHorizontalSpacing>
<w:DrawingGridVerticalSpacing>18 pt</w:DrawingGridVerticalSpacing>
<w:DisplayHorizontalDrawingGridEvery>0</w:DisplayHorizontalDrawingGridEvery>
<w:DisplayVerticalDrawingGridEvery>0</w:DisplayVerticalDrawingGridEvery>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:DontAutofitConstrainedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
</w:Compatibility>
</w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="276">
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]-->
<!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ascii-font-family:Cambria;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Cambria;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
</style>
<![endif]-->
<!--StartFragment-->
<br />
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<b><span style="font-family: Arial;">Selasa</span></b><span style="font-family: Arial;">, 25 Desember 2012, sekitar pukul 03.30 pagi, kereta api
Bangunkarta yang saya tumpangi bersama istri dan si bungsu tiba di Madiun.
Sejak “merantau” ke Jakarta (1975), setidaknya setahun dua kali saya “wajib”
mudik ke kampung halam</span><span style="font-family: Arial;">an. Mudik Idul Fitri untuk sungkem orang tua, dan
berziarah setelah mereka wafat. Lalu mudik Natal untuk mengunjungi kakak saya
yang Protestan dan adik bungsu saya yang Katholik.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<span style="font-family: Arial;"> Selain Idul Fitri dan Natal, yang membuat saya
selalu ingin mudik ke Madiun sesungguhnya adalah bisa bertemu dan bernostalgia
dengan kawan-kawan lama, bisa menemukan kembali segala sesuatu yang remeh-temeh
tapi mampu menyimpan kenangan puluhan tahun silam, dan tentu saja bisa
memanjakan lidah dengan bermacam menu kuliner khas Madiun.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<b><span style="font-family: Arial;"><span style="color: #cc0000;">Serba Biru</span></span></b><span style="font-family: Arial;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<span style="font-family: Arial;">Setelah “urusan keluarga” selesai, esoknya saya
berkeliling Madiun naik sepeda onta, melaju santai di Jalan Kapuas, melintasi</span><span style="font-family: Arial;"> <i>watertoren</i> </span><span style="font-family: Arial;">(menara air raksasa)
peninggalan zaman Belanda, terus ke utara melewati Proliman menuju
Alun-Alun, berhenti sejenak di depan Masjid Agung, melaju lagi ke Jalan Semeru,
belok kanan Jalan Pahlawan, melewati Rumah Dinas Walikota, sampai di perempatan
Tugu belok kiri dan</span><span style="font-family: Arial;"> <i>ngaso</i> </span><span style="font-family: Arial;">di depan Pasar Besar.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<span style="font-family: Arial;"> Setidaknya sudah sepertiga kota Madiun saya
jelajahi. Tapi, saya merasa tidak berada di kampung halaman yang akrab dan
penuh kenangan, tapi seperti tersesat di sebuah tempat yang asing dan terkepung
warna biru. Marka jalan dan batas trotoar yang di kota lain lazimnya hitam
putih, di sini biru putih. Tiang lampu jalan, pagar, termasuk listplank Rumah
Dinas Walikota juga biru. Pintu gerbang, dinding dan kubah Masjid Agung berikut
sekeliling Alun-Alun serta bangunan Pasar Besar pun biru. Bahkan menara air
yang tingginya lebih dari 50 meter, yang sejak saya kecil—konon malah sejak
zaman Belanda—warnanya selalu hijau gelap keabu-abuan itu kok ya dicat biru. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<span style="font-family: Arial;"> Ketika saya melanjutkan perjalanan dan mampir ke dalam stadion, seluruh bangku
penonton ternyata juga berwarna biru.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<span style="font-family: Arial;"> Warna biru, kata tukang parkir yang menemani
saya</span><span style="font-family: Arial;"> <i>ngaso</i></span><span style="font-family: Arial;">, mulai menyebar di penjuru
Madiun setelah Walikota Madiun yang diusung Golkar memenangi Pilkada 2008 dan
kemudian terpilih jadi Ketua DPC Partai Demokrat Madiun.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<b><span style="font-family: Arial;"><span style="color: #cc0000;">Prasasti Perguruan Silat</span></span></b><span style="font-family: Arial;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<span style="font-family: Arial;">Sepanjang perjalanan berkeliling Madiun, bahkan
sampai pelosok desa yang berhampiran dengan Ngawi, Magetan dan Ponorogo, saya
juga sering “berjumpa” dengan “prasasti” perguruan silat Setia Hati (SH)
Winongo dan SH Terate. “Prasasti” dari semen ukuran 1 X 1,5 meter berwarna
dasar hitam itu tampak mencolok lantaran berada di tikungan dan tempat-tempat
strategis. Jarak “prasasti” SH Terate dengan “prasasti” SH Winongo terkadang
hanya terpaut 100 meter.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<span style="font-family: Arial;"> SH Winongo dan SH Terate sesungguhnya bersumber
dari mahaguru yang sama, kemudian berkembang menjadi dua perguruan silat
yang mempunyai puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu pesilat dan pendekar.
Maklum, kedua perguruan silat tersebut juga memiliki cabang di penjuru
Nusantara.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<span style="font-family: Arial;"> Semasa kecil, tahun 1960-an, saya bertetangga
dengan Ibu Ambar, ibunda Mas Imam, mahaguru SH Terate. Hampir setiap hari saya
main di kediaman Eyang Ambar, di paviliun barat pendapa Kabupaten Madiun. Saya
sering diajak Mas Gembong dan terutama sangat dekat dengan Mas Gegot, adik
bungsu Mas Imam yang meninggal sepulang mancing di sendang Sumbermoro, Jiwan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<span style="font-family: Arial;"> Saya yang waktu itu masih SD sering nonton
puluhan anak muda yang setiap malam latihan silat di halaman paviliun. Selesai
latihan silat, dilanjutkan meditasi. Setiap malam 1 Suro, beberapa pesilat
diwisuda jadi pendekar. Calon pendekar yang akan diwisuda wajib membawa ayam
jago, selembar kain kafan dan sejumlah uang logam. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<span style="font-family: Arial;"> Almarhum Mas Parno, kakak
ipar yang terbilang pendekar SH Terate angkatan pertama, mengatakan bahwa ayam
jago yang dipotong itu secara simbolis menyatakan bahwa pendekar silat itu
bukanlah jagoan. Sedangkan kain kafan dan uang logam kelak akan ditabur bersama
beras kuning ketika ajal datang. Meditasi, ritual 1 Sura, ayam jago, kain kafan
dan uang logam sebagai bekal hidup dan mati, merupakan “olah batin” yang harus
dipahami dan dihayati melebihi kemampuan “olah fisik” seorang pendekar.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<span style="font-family: Arial;"> SH Winongo dan SH Terate adalah “produk budaya”
khas Madiun yang layak dibanggakan dan pantas menjadi kebanggaan masyarakat
Madiun. Sebagai “produk budaya”, kelahiran dan kehadiran kedua perguruan silat
terbesar di Indonesia tersebut mestinya dikodratkan untuk saling melengkapi,
saling bersinergi. Sayangnya, yang terjadi justru saling memusuhi, bahkan
saling meniadakan. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<span style="font-family: Arial;"> Alhasil, setiap tahun menjelang ritual 1 Sura, warga Madiun
niscaya dicekam teror tawuran yang melibatkan ribuan pesilat SH Winongo dan SH
Terate. Bahkan tanpa sebab yang jelas, para pesilat kedua perguruan tersebut
seringkali terlibat bentrok yang melibatkan puluhan anak muda.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<span style="font-family: Arial;"> Ketika kemampuan “olah fisik” melampaui
pemahaman dan penghayatan “olah batin”, tampaknya seorang pendekar pada
akhirnya hanyalah sekadar jagoan berkelahi secara keroyokan belaka.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<b><span style="font-family: Arial;"><span style="color: #cc0000;">Naluri Penguasa</span></span></b><span style="font-family: Arial;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<span style="font-family: Arial;">Selama tiga hari bertemu dengan kawan-kawan
lama, ternyata saya tidak bisa bernostalgia. Maklum, sebagian besar masyarakat
Madiun, termasuk kawan-kawan lama saya, lebih suka membicarakan Pilkada Kota
Madiun yang rencananya akan digelar pada 29 Agustus 2013 mendatang. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<span style="font-family: Arial;"> Obrolan di
warung-warung kopi tak lagi dimeriahkan kenangan romantik masa silam, tapi
tentang isyu politik, tentang sejumlah nama calon walikota dan semacamnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<span style="font-family: Arial;"> Lewat tengah malam saya mengayuh sepeda,
meninggalkan warung kopi dan kawan-kawan lama yang masih asyik bicara politik.
Dalam perjalanan pulang, saya terpaksa melewati rentetan warna biru dan
sejumlah prasasti—yang tentunya dimaksudkan untuk menandai wilayah
kekuasaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; margin-bottom: .1pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: .1pt; mso-para-margin-bottom: .01gd; mso-para-margin-left: 0in; mso-para-margin-right: 0in; mso-para-margin-top: .01gd;">
<span style="font-family: Arial;"> Menandai wilayah kekuasaan, barangkali memang
sudah menjadi naluri penguasa. Seperti halnya singa dan harimau menandai
wilayah kekuasaannya dengan mencakari batang pohon. Seperti halnya anjing dan
kucing juga merasa perlu menandai wilayah kekuasaannya dengan (maaf) siraman
urine di tiang listrik atau di pojok pagar. ***<span style="font-size: medium;"><o:p></o:p></span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<!--EndFragment-->Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13989728439554797210noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4248751082755088486.post-82568514098523806982013-04-10T03:52:00.001-07:002013-04-10T03:52:25.121-07:00Surat Ibu 1979-1982<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDlhH-eCDcoAVAydXgTDvxbumc-fgU2GgyAMjV3z4SnkCeKZ2nSBtWt7k8nRLNkjG6NPgp2nvQtbrXHcRswA-LPbrtUwMATy1VM25zoFFZ7230F9rBK9mOXMQ-YpK-JXhUFSFMh_zV6WAw/s1600/surat+ibu+SATU+1.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="140" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDlhH-eCDcoAVAydXgTDvxbumc-fgU2GgyAMjV3z4SnkCeKZ2nSBtWt7k8nRLNkjG6NPgp2nvQtbrXHcRswA-LPbrtUwMATy1VM25zoFFZ7230F9rBK9mOXMQ-YpK-JXhUFSFMh_zV6WAw/s200/surat+ibu+SATU+1.JPG" width="200" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Surat Ibu 1979-1982</td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
Surat-surat itu</div>
<div style="text-align: center;">
ditulis almarhumah Ibu</div>
<div style="text-align: center;">
lebih dari tiga puluh tahun yang lalu.</div>
<div style="text-align: center;">
Kertasnya mulai merapuh</div>
<div style="text-align: center;">
tintanya sebagian terkelupas luruh</div>
<div style="text-align: center;">
dan kalimatnya telah menjelma menjadi suluh.</div>
<div style="text-align: center;">
Dan setiap kali membaca ulang surat-surat itu</div>
<div style="text-align: center;">
selalu saja ada surat yang seakan-akan baru ditulis Ibu</div>
<div style="text-align: center;">
kemarin atau setidaknya minggu lalu</div>
<div style="text-align: center;">
lantas dikirim via pos kilat supaya lekas melintas rindu.</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg22L7Ml68gZvYx8eZTbghWZFKtrrPpuHBtjFifMAkzWG9RoBMlekHttNyy8auOKY4czAnubityVHvESjo5k4ZSeYH3CFOkQ2hC1XeBb3nO74PLJIonfWmU5mY7L71JnuTE2ka7yHJl6MYr/s1600/SRT+IBU+LKP+OKE.TIF" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg22L7Ml68gZvYx8eZTbghWZFKtrrPpuHBtjFifMAkzWG9RoBMlekHttNyy8auOKY4czAnubityVHvESjo5k4ZSeYH3CFOkQ2hC1XeBb3nO74PLJIonfWmU5mY7L71JnuTE2ka7yHJl6MYr/s200/SRT+IBU+LKP+OKE.TIF" width="196" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
Membaca surat-surat itu</div>
<div style="text-align: center;">
aku pun terkenang pangkuan Ibu</div>
<div style="text-align: center;">
tempat di mana dahulu</div>
<div style="text-align: center;">
aku bisa menangis tersedu</div>
<div style="text-align: center;">
tanpa rasa malu,</div>
<div style="text-align: center;">
dan bukankah hanya pangkuan Ibu</div>
<div style="text-align: center;">
tempat di mana dahulu</div>
<div style="text-align: center;">
aku bisa merasa aman</div>
<div style="text-align: center;">
bersembunyi dari Tuhan?</div>
<div style="text-align: center;">
Dan seperti masa kanak yang semakin menjauh</div>
<div style="text-align: center;">
surat-surat itu akan semakin merapuh</div>
<div style="text-align: center;">
tapi cintaku pada Ibu tetap utuh</div>
<div style="text-align: center;">
tetap teguh</div>
<div style="text-align: center;">
takkan pernah runtuh.</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
Jakarta, 10 April 2013</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13989728439554797210noreply@blogger.com0