Selasa, 25 Desember 2012, sekitar pukul 03.30 pagi, kereta api
Bangunkarta yang saya tumpangi bersama istri dan si bungsu tiba di Madiun.
Sejak “merantau” ke Jakarta (1975), setidaknya setahun dua kali saya “wajib”
mudik ke kampung halaman. Mudik Idul Fitri untuk sungkem orang tua, dan
berziarah setelah mereka wafat. Lalu mudik Natal untuk mengunjungi kakak saya
yang Protestan dan adik bungsu saya yang Katholik.
Selain Idul Fitri dan Natal, yang membuat saya
selalu ingin mudik ke Madiun sesungguhnya adalah bisa bertemu dan bernostalgia
dengan kawan-kawan lama, bisa menemukan kembali segala sesuatu yang remeh-temeh
tapi mampu menyimpan kenangan puluhan tahun silam, dan tentu saja bisa
memanjakan lidah dengan bermacam menu kuliner khas Madiun.
Serba Biru
Setelah “urusan keluarga” selesai, esoknya saya
berkeliling Madiun naik sepeda onta, melaju santai di Jalan Kapuas, melintasi watertoren (menara air raksasa)
peninggalan zaman Belanda, terus ke utara melewati Proliman menuju
Alun-Alun, berhenti sejenak di depan Masjid Agung, melaju lagi ke Jalan Semeru,
belok kanan Jalan Pahlawan, melewati Rumah Dinas Walikota, sampai di perempatan
Tugu belok kiri dan ngaso di depan Pasar Besar.
Setidaknya sudah sepertiga kota Madiun saya
jelajahi. Tapi, saya merasa tidak berada di kampung halaman yang akrab dan
penuh kenangan, tapi seperti tersesat di sebuah tempat yang asing dan terkepung
warna biru. Marka jalan dan batas trotoar yang di kota lain lazimnya hitam
putih, di sini biru putih. Tiang lampu jalan, pagar, termasuk listplank Rumah
Dinas Walikota juga biru. Pintu gerbang, dinding dan kubah Masjid Agung berikut
sekeliling Alun-Alun serta bangunan Pasar Besar pun biru. Bahkan menara air
yang tingginya lebih dari 50 meter, yang sejak saya kecil—konon malah sejak
zaman Belanda—warnanya selalu hijau gelap keabu-abuan itu kok ya dicat biru.
Ketika saya melanjutkan perjalanan dan mampir ke dalam stadion, seluruh bangku
penonton ternyata juga berwarna biru.
Warna biru, kata tukang parkir yang menemani
saya ngaso, mulai menyebar di penjuru
Madiun setelah Walikota Madiun yang diusung Golkar memenangi Pilkada 2008 dan
kemudian terpilih jadi Ketua DPC Partai Demokrat Madiun.
Prasasti Perguruan Silat
Sepanjang perjalanan berkeliling Madiun, bahkan
sampai pelosok desa yang berhampiran dengan Ngawi, Magetan dan Ponorogo, saya
juga sering “berjumpa” dengan “prasasti” perguruan silat Setia Hati (SH)
Winongo dan SH Terate. “Prasasti” dari semen ukuran 1 X 1,5 meter berwarna
dasar hitam itu tampak mencolok lantaran berada di tikungan dan tempat-tempat
strategis. Jarak “prasasti” SH Terate dengan “prasasti” SH Winongo terkadang
hanya terpaut 100 meter.
SH Winongo dan SH Terate sesungguhnya bersumber
dari mahaguru yang sama, kemudian berkembang menjadi dua perguruan silat
yang mempunyai puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu pesilat dan pendekar.
Maklum, kedua perguruan silat tersebut juga memiliki cabang di penjuru
Nusantara.
Semasa kecil, tahun 1960-an, saya bertetangga
dengan Ibu Ambar, ibunda Mas Imam, mahaguru SH Terate. Hampir setiap hari saya
main di kediaman Eyang Ambar, di paviliun barat pendapa Kabupaten Madiun. Saya
sering diajak Mas Gembong dan terutama sangat dekat dengan Mas Gegot, adik
bungsu Mas Imam yang meninggal sepulang mancing di sendang Sumbermoro, Jiwan.
Saya yang waktu itu masih SD sering nonton
puluhan anak muda yang setiap malam latihan silat di halaman paviliun. Selesai
latihan silat, dilanjutkan meditasi. Setiap malam 1 Suro, beberapa pesilat
diwisuda jadi pendekar. Calon pendekar yang akan diwisuda wajib membawa ayam
jago, selembar kain kafan dan sejumlah uang logam.
Almarhum Mas Parno, kakak
ipar yang terbilang pendekar SH Terate angkatan pertama, mengatakan bahwa ayam
jago yang dipotong itu secara simbolis menyatakan bahwa pendekar silat itu
bukanlah jagoan. Sedangkan kain kafan dan uang logam kelak akan ditabur bersama
beras kuning ketika ajal datang. Meditasi, ritual 1 Sura, ayam jago, kain kafan
dan uang logam sebagai bekal hidup dan mati, merupakan “olah batin” yang harus
dipahami dan dihayati melebihi kemampuan “olah fisik” seorang pendekar.
SH Winongo dan SH Terate adalah “produk budaya”
khas Madiun yang layak dibanggakan dan pantas menjadi kebanggaan masyarakat
Madiun. Sebagai “produk budaya”, kelahiran dan kehadiran kedua perguruan silat
terbesar di Indonesia tersebut mestinya dikodratkan untuk saling melengkapi,
saling bersinergi. Sayangnya, yang terjadi justru saling memusuhi, bahkan
saling meniadakan.
Alhasil, setiap tahun menjelang ritual 1 Sura, warga Madiun
niscaya dicekam teror tawuran yang melibatkan ribuan pesilat SH Winongo dan SH
Terate. Bahkan tanpa sebab yang jelas, para pesilat kedua perguruan tersebut
seringkali terlibat bentrok yang melibatkan puluhan anak muda.
Ketika kemampuan “olah fisik” melampaui
pemahaman dan penghayatan “olah batin”, tampaknya seorang pendekar pada
akhirnya hanyalah sekadar jagoan berkelahi secara keroyokan belaka.
Naluri Penguasa
Selama tiga hari bertemu dengan kawan-kawan
lama, ternyata saya tidak bisa bernostalgia. Maklum, sebagian besar masyarakat
Madiun, termasuk kawan-kawan lama saya, lebih suka membicarakan Pilkada Kota
Madiun yang rencananya akan digelar pada 29 Agustus 2013 mendatang.
Obrolan di
warung-warung kopi tak lagi dimeriahkan kenangan romantik masa silam, tapi
tentang isyu politik, tentang sejumlah nama calon walikota dan semacamnya.
Lewat tengah malam saya mengayuh sepeda,
meninggalkan warung kopi dan kawan-kawan lama yang masih asyik bicara politik.
Dalam perjalanan pulang, saya terpaksa melewati rentetan warna biru dan
sejumlah prasasti—yang tentunya dimaksudkan untuk menandai wilayah
kekuasaan.
Menandai wilayah kekuasaan, barangkali memang
sudah menjadi naluri penguasa. Seperti halnya singa dan harimau menandai
wilayah kekuasaannya dengan mencakari batang pohon. Seperti halnya anjing dan
kucing juga merasa perlu menandai wilayah kekuasaannya dengan (maaf) siraman
urine di tiang listrik atau di pojok pagar. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar