Zurich, Swiss 1996

Rabu, 10 April 2013

Madiun dan Naluri Penguasa


Selasa, 25 Desember 2012, sekitar pukul 03.30 pagi, kereta api Bangunkarta yang saya tumpangi bersama istri dan si bungsu tiba di Madiun. Sejak “merantau” ke Jakarta (1975), setidaknya setahun dua kali saya “wajib” mudik ke kampung halaman. Mudik Idul Fitri untuk sungkem orang tua, dan berziarah setelah mereka wafat. Lalu mudik Natal untuk mengunjungi kakak saya yang Protestan dan adik bungsu saya yang Katholik.
     Selain Idul Fitri dan Natal, yang membuat saya selalu ingin mudik ke Madiun sesungguhnya adalah bisa bertemu dan bernostalgia dengan kawan-kawan lama, bisa menemukan kembali segala sesuatu yang remeh-temeh tapi mampu menyimpan kenangan puluhan tahun silam, dan tentu saja bisa memanjakan lidah dengan bermacam menu kuliner khas Madiun.
Serba Biru
Setelah “urusan keluarga” selesai, esoknya saya berkeliling Madiun naik sepeda onta, melaju santai di Jalan Kapuas, melintasi watertoren (menara air raksasa) peninggalan zaman Belanda,  terus ke utara melewati Proliman menuju Alun-Alun, berhenti sejenak di depan Masjid Agung, melaju lagi ke Jalan Semeru, belok kanan Jalan Pahlawan, melewati Rumah Dinas Walikota, sampai di perempatan Tugu belok kiri dan ngaso di depan Pasar Besar.
     Setidaknya sudah sepertiga kota Madiun saya jelajahi. Tapi, saya merasa tidak berada di kampung halaman yang akrab dan penuh kenangan, tapi seperti tersesat di sebuah tempat yang asing dan terkepung warna biru. Marka jalan dan batas trotoar yang di kota lain lazimnya hitam putih, di sini biru putih. Tiang lampu jalan, pagar, termasuk listplank Rumah Dinas Walikota juga biru. Pintu gerbang, dinding dan kubah Masjid Agung berikut sekeliling Alun-Alun serta bangunan Pasar Besar pun biru. Bahkan menara air yang tingginya lebih dari 50 meter, yang sejak saya kecil—konon malah sejak zaman Belanda—warnanya selalu hijau gelap keabu-abuan itu kok ya dicat biru. 
     Ketika saya melanjutkan perjalanan dan mampir ke dalam stadion, seluruh bangku penonton ternyata juga berwarna biru.
     Warna biru, kata tukang parkir yang menemani saya ngaso, mulai menyebar di penjuru Madiun setelah Walikota Madiun yang diusung Golkar memenangi Pilkada 2008 dan kemudian terpilih jadi Ketua DPC Partai Demokrat Madiun.
Prasasti Perguruan Silat
Sepanjang perjalanan berkeliling Madiun, bahkan sampai pelosok desa yang berhampiran dengan Ngawi, Magetan dan Ponorogo, saya juga sering “berjumpa” dengan “prasasti” perguruan silat Setia Hati (SH) Winongo dan SH Terate. “Prasasti” dari semen ukuran 1 X 1,5 meter berwarna dasar hitam itu tampak mencolok lantaran berada di tikungan dan tempat-tempat strategis. Jarak “prasasti” SH Terate dengan “prasasti” SH Winongo terkadang hanya terpaut 100 meter.
     SH Winongo dan SH Terate sesungguhnya bersumber dari mahaguru yang  sama, kemudian berkembang menjadi dua perguruan silat yang mempunyai puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu pesilat dan pendekar. Maklum, kedua perguruan silat tersebut juga memiliki cabang di penjuru Nusantara.
     Semasa kecil, tahun 1960-an, saya bertetangga dengan Ibu Ambar, ibunda Mas Imam, mahaguru SH Terate. Hampir setiap hari saya main di kediaman Eyang Ambar, di paviliun barat pendapa Kabupaten Madiun. Saya sering diajak Mas Gembong dan terutama sangat dekat dengan Mas Gegot, adik bungsu Mas Imam yang meninggal sepulang mancing di sendang Sumbermoro, Jiwan.
     Saya yang waktu itu masih SD sering nonton puluhan anak muda yang setiap malam latihan silat di halaman paviliun. Selesai latihan silat, dilanjutkan meditasi. Setiap malam 1 Suro, beberapa pesilat diwisuda jadi pendekar. Calon pendekar yang akan diwisuda wajib membawa ayam jago, selembar kain kafan dan sejumlah uang logam. 
     Almarhum Mas Parno, kakak ipar yang terbilang pendekar SH Terate angkatan pertama, mengatakan bahwa ayam jago yang dipotong itu secara simbolis menyatakan bahwa pendekar silat itu bukanlah jagoan. Sedangkan kain kafan dan uang logam kelak akan ditabur bersama beras kuning ketika ajal datang. Meditasi, ritual 1 Sura, ayam jago, kain kafan dan uang logam sebagai bekal hidup dan mati, merupakan “olah batin” yang harus dipahami dan dihayati melebihi kemampuan “olah fisik” seorang pendekar.
     SH Winongo dan SH Terate adalah “produk budaya” khas Madiun yang layak dibanggakan dan pantas menjadi kebanggaan masyarakat Madiun. Sebagai “produk budaya”, kelahiran dan kehadiran kedua perguruan silat terbesar di Indonesia tersebut mestinya dikodratkan untuk saling melengkapi, saling bersinergi. Sayangnya, yang terjadi justru saling memusuhi, bahkan saling meniadakan. 
     Alhasil, setiap tahun menjelang ritual 1 Sura, warga Madiun niscaya dicekam teror tawuran yang melibatkan ribuan pesilat SH Winongo dan SH Terate. Bahkan tanpa sebab yang jelas, para pesilat kedua perguruan tersebut seringkali terlibat bentrok yang melibatkan puluhan anak muda.
     Ketika kemampuan “olah fisik” melampaui pemahaman dan penghayatan “olah batin”, tampaknya seorang pendekar pada akhirnya hanyalah sekadar jagoan berkelahi secara keroyokan belaka.
Naluri Penguasa
Selama tiga hari bertemu dengan kawan-kawan lama, ternyata saya tidak bisa bernostalgia. Maklum, sebagian besar masyarakat Madiun, termasuk kawan-kawan lama saya, lebih suka membicarakan Pilkada Kota Madiun yang rencananya akan digelar pada 29 Agustus 2013 mendatang. 
     Obrolan di warung-warung kopi tak lagi dimeriahkan kenangan romantik masa silam, tapi tentang isyu politik, tentang sejumlah nama calon walikota dan semacamnya.
     Lewat tengah malam saya mengayuh sepeda, meninggalkan warung kopi dan kawan-kawan lama yang masih asyik bicara politik. Dalam perjalanan pulang, saya terpaksa melewati rentetan warna biru dan sejumlah prasasti—yang  tentunya dimaksudkan untuk menandai wilayah kekuasaan.
     Menandai wilayah kekuasaan, barangkali memang sudah menjadi naluri penguasa. Seperti halnya singa dan harimau menandai wilayah kekuasaannya dengan mencakari batang pohon. Seperti halnya anjing dan kucing juga merasa perlu menandai wilayah kekuasaannya dengan (maaf) siraman urine di tiang listrik atau di pojok pagar. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar